Kamis, 13 November 2008

leptospirosis

I. PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman leptospira patogen. Gejala leptospirosis mirip dengan penyakit infeksi lainnya seperti influensa, meningitis, hepatitis, demam dengue, deman berdarah dengue dan demam virus lainnya. Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.

Banjir besar di Jakarta tahun 2002, diketemukan 113 pasien leptospirosis dan 20 orang meninggal. Leptospirosis sering kali tidak terdiagnosis karena gejala klinis tidak spesifik, dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium. Kejadian luar biasa leptospirosis dalam dekade terakhir di beberapa negara telah menjadikan leptospirosis sebagai salah satu penyakit yang termasuk the emerging infectious diseases.

Mengingat hal tersebut di atas, akan bahaya leptospirosis sehinga perlu sosialisasi pedoman tatalaksana kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit.

Penyakit leptospirosis mempunyai sinonim (nama lain): Autumnal fever, Conical fever, Canine typhus, Cane cutter’s fever, Flood fever, haemorrhagic jaundice, Icteric leptospirosis, Mud fever, Redwater of calves, Rice field fever, Stuttgard disease, Swamp fever, Swineherd’s disease, Trench fever dan demam kemih tikus.

II. PATOGENESIS

Kuman leptospira masuk ke dalam tubuh penjamu melalui luka iris/luka abrasi pada kulit, konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi. Meski jarang ditemukan, leptospirosis pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira melalui kulit utuh yang lama terendam air, saat banjir. Infeksi melalui selaput lendir lambung jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman leptospira. Kuman leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke 4 sampai 10 perjalanan penyakit.

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil; sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang paling penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selluler. Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.
Beberapa strain serovar Pomona dan Copenhageni mengeluarkan protein sitotoksin. In vivo, toksin in mengakibatkan perubahan histopatologik berupa infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear. Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal kuman leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal, dan lumen tubulus.

Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.

Conjungtival suffusion khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Komplikasi lain berupa uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan lentikular. Keberadaan kuman leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang.

Kuman leptospira difagosit oleh sel-sel sistem retikuloendotelial serta mekanisme pertahanan tubuh. Jumlah organisme semakin berkurang dengan meningkatnya kadar antibodi spesifik dalam darah. Kuman leptospira akan dieleminasi dari semua organ kecuali mata, tubulus proksimal ginjal, dan mungkin otak dimana kuman leptospira dapat menetap selama beberapa minggu atau bulan.

III. GAMBARAN HISTOPATOLOGI

Gambaran patologi leptospirosis ditandai dengan terjadinya vaskulitis, kerusakan endotel, dan infiltrasi inflamasi yang terdiri dari sel monosit, sel plasma, histosit dan netrifil. Gambaran histologi leptospirosis yang mencolok yaitu kerusakan hati, ginjal, jantung dan paru.

a) Kerusakan hati akibat nekrosis sentrilobular yang disertai proliferasi sel kupffer. Sering ditemukan adanya disosiasi sel-sel hati, degenerasi sitoplasma, inti sel-sel parenkim mengecil dan infiltrasi mononukleus pada daerah portal.

b) Kerusakan ginjal lebih nyata dibandingkan dengan kerusakan hati, yaitu edema, dan perdarajhan di medula. Adanya gambaran nefritis interstisial yang berlanjut menjadi nekrosis tubulus pada kasus berat. Silinder protein, pigmen darah, eritrosit dan sisa sel tubulus dapat ditemukan di medula tubulus.

c) Invasi otot rangka oleh kuman leptospira mengakibatkan timbulnya pembengkakan, vakuolisasi miofibril, nekrosis fokal, infiltrasi histiosit, netrofil dan sel plasma leptospira, misalnya pada otot gastroknemius.

d) Kerusakan pada jantung ditandai dengan petekie di endokardium dan epikardium, serabut otot sembah, disertai vakuolisasi, degenerasi dan infiltrasi sel radang. Pada beberapa kasus terjadi miokarditis toksik atau endokarditis akut.

e) Kerusakan pada paru bervariasi dari inflamasi intetstisial setempat disertai eksravasasi hingga infiltrasi bronkopneumonik luas.

IV. MANIFESTASI KLINIK

Manifestasi klinik dengan masa inkubasi berkisar antara 7 -12 hari dengan rerata 10 hari. Menurut tingkat keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi untuk pendekatan diagnosis klinik dan penangannya, para ahli membagi penyakit leptospirosis menjadi: leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.


Leptospirosis anikterik :

Manifestasi klinik sebagian besar leptospirosis adalah anikterik, diperkirakan mencapai 90 % dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Bila ditemukan satu kasus leptospirosis berat, diperkirakan 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan. Perjalanan penyakit leptospirosis antikterik maupun ikterik umumny leptospiraa bifasik karena mempunyai 2 fase / stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. (tabel 1)

Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:

Ø Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; Nyeri kepala; Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri kepala dapat berat, mirip yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia; Nyeri otot terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase akan meningkat, dan pemeriksaan kreatinin fosfokinase dapat membantu diagnosis klinik leptospirosis.

Ø Adanya canjungtival suffision dan nyeri tekan di daerah betis. Lemfodenopati, splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan meskipun jarang.Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.

Ø Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis leptospiraaseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis. Pleiositosis pada cairan serebrospinal ditemukan pada 80 % pasien, meskipun hanya 50 % yang menunjukkan tanda dan gejala klinik meningitis aseptik.

Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Manifestasi klinik menyerupai penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis anikterik sebagai salah satu diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik dan pasca banjir.

Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di cina.

Pada tes pembendungan dapat positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue.

Leptospirosis ikterik:

Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.

Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah pasien sembuh. Komplikasi yang terjadi pada leptospirosis merefleksikan leptospirosis sebagai suatu penyakit multisistem. Leptospirosis sering menyebabkan gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil.

Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada pemeriksaan fisik belum dityemukan kelainan. Kelainan timbul pada hari ke 3 sampai 9 perjalanan penyakit. Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy alveolar pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru bagian bawah.

Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ, perdarahan masih dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS) merupakan penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan leptospirosis ikterik. Penyebab kematian leptospirosis berat adalah koma uremia, syok septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Faktor-faktor prognostik yang berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria terutama oliguria rrnal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru, sesak nafas, leukositosis > 12.900 per mm3 , kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, dan adanya infiltrasi pada foto pencitraan paru.

Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, gangguan kesadaran akibat uremia) dapat menunjukkan gambaran klinik yang mirip dengan malaria falciparum berat ( demam, ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, kesadaran menurunakibat malaria serebral), haemorrhagic fever with renal syndrome (HFRS) yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, injeksi subkonjungtiva, kadang-kadang ikterik, dan demam tifoid berat dengan komplikasi ganda (sindrom septikemia, ikterik, azotemia, tendensi perdarahan, soporokoma).

Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 % pasien leptospirosis dalam 24 jam pertaama dalam perawatan di rumah sakit, dan yang tersering adalah blok artrioventrikular derajat I, dan fibrilasi atrium.

Hipotensi sering dijumpai pada pasien leptospirosis leptospirosissaat masuk rumah sakit, dan mayoritas pasien dengan hipotensi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal.

Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak. Hal ini mungkin diasebabkan karena tidak terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa. Pada kasus berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit Kawasaki, dengan perdarahan paru. Manifestasi klinis pada kasus ringan adalah demam dan gastroenteritis.

V. DIAGNOSIS KLINIS DAN DIAGNOSIS BANDING

Langkah untuk menegakkan diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium. Pola klinis leptospirosis di beberapa rumah sakit tidak sama, tergantung dari : jenis kuman leptospira, kekebalan seseorang, kondisi lingkungan dan lain-lain.

A. Anamnesis

Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data bepidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan pasien.
Identitas pasien ditanyakan: nama,umur, jenis kelamin, tempat tinggal, jenis pekerjaan, dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan maupun hewan liar di lingkungannya, karena berhubungan dengan leptospirosis.

B. Pemeriksaan fisik

Gejala klinik menonjol yaitu: ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi serta conjungtival suffusion.
Conjungtival suffusion dan mialgia merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan. Conjungtival suffusion bermanifestasi bilateral di palpebra pada hiri ke 3 selambatnya hari ke 7 terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring; faring terlihat merah dan bercak-bercak.

Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit.

Kelainan fisik lain yang ditemukan yaitu: hepatomegali, splenomegali, kaku kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronki paru dan adanya diatesis hemoragi. Diatesis hemoragi timbul akibat proses vaskulitis difus di kapiler disertai hipoprotrombinemia dan trombositopenia, uji pembendungan dapat positif. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan manifestasi dapat terlihat sebagai petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering atau tempat lain.

C. Pemeriksaan laboratorium

a. Pemeriksaan laboratorium umum

Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu:

1) Pemeriksaan darah

Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal atau menurun, hitung jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai 26.000 per mm3 pada keadaan anikterik.

Morfologi darah tepi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran ke kiri.

Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masa pembekuan umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal. Masa protrombin memanjang pada sebagian pasien namun dapat dikoreksi dengan vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 per mm3 sampai 150.000 per mm3 terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan gagal ginjal, dan pertanda penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu 5000 per mm 3. Laju endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia hipokromia mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium lanjut perjalanan penyakit.

2) Pemeriksaan fungsi ginjal

Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria dan peningkatan silinder ( hialin, granuler ataupun selular) pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami semua pasien ikterik. Ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek prognosa. Peningkatan ureum sampai di atas 400 mg/dL. Proses perjalanan gagal ginjal berlangsung progresif dan selang 3 hari kemudian akan terjadi anuri total. Ganguan ginjal pada pasien penyakit Weil ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi akibat dehidrasi, hipotensi.

3) Pemeriksaan fungsi hati

Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase (serum glutamic oxalloacetic transaminase = SGOT dan serum glutamic pyruvate transaminase = SGPT). Peningkatannya t idak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2 – 3 kali nilai normal. Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan bermakna SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak dijumpai peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.

b. Pemeriksaan laboratorium khusus

Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira dapat secara langsung dengan mencari kuman leptospira atau antigennya dan secara tidak melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira dengan uji serologis

1) Pemeriksaan langsung:

a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining

Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah, cairan prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin pada minggu ke dua, untuk diagnosis definitif leptospirosis.

Spesimen urin diambil dengan kateter, punksi supra pubik dan urin aliran tengah, diberi pengawet formalin 10 % dengan perbandingan 1:4. Bila jumlah spesimen banyak dilakukan dua kali pemusingan untuk memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Pemusingan pertama dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk membuang sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada kecepatan tinggi antara 3000 – 4000 g selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira terkonsentrasi, kemudian satu tetes sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas kaca obyek bersih dan diberi kaca [penutup agar tersebar rata.

Selain itu dapat dipakai pewarnaan Romanowsky jenis Giemsa, dan pewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding Gram dan Giemsa (kuman leptospira lebih jelas terlihat).

Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai dari pada pewarnaan perak karena kuman leptospira lebih muda terlihat dan dapat ditentukan jenis serovar. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai tanpa mikroskop fluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel enzim, seperti fosfotase dan peroksidase atau logam seperti emas.

b) Pemeriksaan molekuler

Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen dari 2 ml serum, 5 mL darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.

C, dry°Spesimen tersebut dikirim pada suhu – 70 C dalam waktu singkat. Urin dikirim°ice, atau suhu 4 C.°pada suhu 4

c) Biakan

Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah, cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.

d) Inokulasi hewan percobaan

Kuman leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh karena itu hewan dapat dipakai untuk isolasi primer kuman leptospira. Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4 – 6 minggu) dan marmut muda ( 150 – 175 g), yang bukan karier kuman leptospira.

2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi

Berbagai jenis uji serologi dapat dilihat seperti pada tabel 4.

Jenis uji serologi:

· Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide agglutination test (MSAT)

· Uji carik celup:

Ø LEPTO Dipstick

Ø LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)

· Aglutinasi lateks Kering

· (LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test

· Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc – slide agglutination test (PSAT)

· Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)

· Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis (CIE)

· Complement fixation Test (CFT)

D. Penegakkan diagnosis

Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:

Suspek, bila ada gejala

· klinis, tanpa dukungan uji laboratorium. Diagnosis menurut Faine dengan menggunakan nilai skor berdasarkan gejala klinis dan data epidemiologi, sekarang tidak dianjurkan lagi, karena pasien dengan nilai skor rendah, pemeriksaan kultur dapat positif atau sebaliknya.

· Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot positif.

Definitif, bila:

1) Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi hewan atau reaksi polimerase berantai.

2) Gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih, atau IgM ELISA positif.

E. Diagnosis banding

Leptospirosis anikterik: influensa, demam dengue dan demam berdarah dengue, infeksi virus hanta, demam kuning, riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik, keracunan bahan kimia, keracunan makanan, demam tifoid dan penyakit demam enterik lain, Fever of known origin (FUO), serokonversi HIV primer, penyakit legioner, dan infeksi virus/bakteri lain.

Leptospirosis ikterik: malaria falciparum berat, hepatitis virus, demam tifus dengan komplokasi ganda, haemorrhagic fever with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.

VI. TERAPI

Kuman leptospira sensitif terhadap sebagian besar antibiotika, terkecuali vakomisin, rafampisin dan mitronidasol.

Pemantauan fungsi jantung perlu dilakukan pada hari pertama rawat inap dengan mencakup aspek terapi kausatif, simtomatik dan suportif.

Terapi leptospirosis ringan

1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya melebihi 38 C.

2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Pada leptospirosis ringan diberikan terapi:

· Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kaliv sehari, selama 7 hari, pada anak di atas 8 tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg)

· Ampisilin 500 –v 750 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral

· Amoksisilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral.

Terapi leptospirosis berat

1. Pemberian antipiretik.

2. Pemberian Nutrisi dan cairan

Pemberian nutrisi perlu diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, sehingga asupan nutrisi berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dengan perhitungan:

Berat badan 0 – 10 kg : 100 kalori/kgBB/hari

Berat badan 20 – 30 kg : ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari

Berat badan 30 – 40 kg : ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari

Berat badan 40 – 50 kg : ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari

Berat badan 50 – 60 kg : ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari


Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein yang cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5 gram/kgBB/ hari.. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan makanan secara parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup kandungan nutrisinya)

Pemberian antibiotik :

Prokain penisilin 6 – 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular

Ampisilin 1 gram yangv diberikan 4 kali sehari intravena

Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena


Antibiotik pada anak:

Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB; maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular

Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang diberikan 2 kali sehari per oral.

Pananganan khusus:

a. Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera ditangani, karena menyebabkan cardiac arrest;

b. Asidosis metabolik;

c. Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;

d. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik;

e. Perdarahan diatasi dengan transfusi.

Diagnosis is suspect (hanya didukung oleh gejala klinis&riwayat pajanan) Demam, cojunctival suffusion, nkaku&nyeri otot (betis dan paha) Ikterik, sakit kepala, menggigil, oliguria,anuria kaku kuduk,dll. Ditambah: riwayat pajanan dengan hewan/lingkungan terkontaminasi urin hewan faktor resiko transmisi leptospirosis
Diagnosis Probable: Diagnosis suspect didukung tes serologi penyaringan positif
Diagnosis is Confirmed: Peningkatan titer serial 4 atau serokonversi MAT atau ELISA IgM (+)Azotemia

VII. PENCEGAHAN

Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi yang meliputi:

1) Intervensi sumber infeksi;

2) Intervensi pada jalur penularan ;

3) Intervensi pada pejamu manusia.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes R.I. 2003. Pedoman tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit. Ditjen PPM-PL Jakarta, RSPI DR SS

Faine, S. 1982. Guidelines for the control of leptospirosis. Geneva: WHO Offset Publication No. 67l

Gasem, MH. 2003. Gambaran klinik dan diagnosis leptospirosis pada manusia. Dalam: Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU Editor: Kumpulan makalah symposium leptospirosis. Cetakan pertama.Badan penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar